Sang mentari telah menerangi segala sudut ruang kamar ini. Walau cahayanya tak masuk secara langsung tapi terangnya tak kalah dengan aslinya akibat pantulan cahaya dari dinding rusunawa yang tepat berada di depan jendela kamar. Jendela dan tirai kamar yang masih tertutup ini membuat udara kamar menjadi pengap dan terasa sesak. Sudah hampir satu bulan ditinggal oleh pemilik kamar.
Udara pagi di sekitar lingkungan kampus memang terasa sejuk, lingkungan yang masih terjaga dengan pohon-pohon rindang yang masih tertata dengan rapi. Embun-embun pagi masih membasahi dedaunan, jalan-jalan yang masih lembab dihiasi daun-daun tua yang sudah menguning kecoklatan bertaburan dimana-mana.
Awal-awal Agustus memang sudah memasuki musim panas, dan itu sudah dirasakan oleh tubuhku yang terbalut pakaian layaknya muslimah walau harus diakui jauh dari kata sempurna, karena di pagi hari ini sinar mentari sudah begitu menyengat. Pagi ini, seperti biasa aku menyusuri jalan menuju Asrama putri yang terletak di belakang pemukiman Unsri. Setelah turun dari angkutan umum bewarna kuning itu, angkutan yang biasa mengantar mahasiswa maupun masyarakat sekitar indralaya dengan rute beraneka ragam. Angkutan kuning itu bisa mengantar dari stasiun kereta api indralaya sampai ke tanjung raja, tergantung jumlah penumpang yang akan menaikinya. jika itu mahasiswa, biasanya rute yang dilalui hanya kampus sampai pasar indralaya.
Aku turun tepat di persimpangan jalan antara fakultas ekonomi dan jalan menuju fakultas Isip. Jika pagi seperti ini angkutan yang aku naiki adalah angkutan yang biasa bertengger di depan klinik Unsri, karena berangkat dari rumah di Prabumulih. Angkutan tersebut tidak mau mengantar sampai ke asrama bukan karena sang supir tak tahu jalannya tapi sudah ada pembagian jatah masing-masing angkutan. Tapi pernah suatu hari aku mencoba membujuk sang supir angkutan untuk bisa mengantarku sampai asrama, ada kalanya sang supir berbaik hati untuk mengantar sampai ke asrama tanpa meminta tambahan ongkos tapi kebanyakan yang aku temui adalah sang supir meminta tambahan yang terkadang hampir sama dengan ongkos pergi ke Prabumulih. Alhasil aku lebih memilih untuk berhenti di persimpangan itu, lalu menyursurinya dengan berjalan kaki.
Dengan semangat pagi, aku berjalan dengan santainya. Kemudian merogoh Hp yang berada didalam tas, perlahan aku tekan tombol navigasi hanya untuk melihat jam berapa sekarang. Jam yang tertera disana pukul 08.05, ternyata bus yang aku naiki dari Prabu sampai Indralaya termasuk sangat cepat. Sengaja aku masukkan lagi Hp kedalam tas mengabaikan beberapa sms masuk agar bisa menikmati indahnya suasana kampus dan sejuknya udara segar ini.
Sekilas ku melihat ke arah gedung bewarna abu-abu di sebelah kiriku, tak lain adalah gedung dekanat Fisip, sudah tampak beberapa orang sudah duduk-duduk di hamparan pinggir gedung. Terlihat bus Fisip juga ada disana, itu artinya sudah ada beberapa karyawan ataupun para birokrat itu sendiri sudah datang untuk melayani para mahasiswa.
Hari ini adalah hari dimulainya aktivitas kuliah di semester ganjil, terlintas dipikiranku tujuan datang ke kampus mungkin sama dengan beberapa mahasiswa lainnya yaitu mengambil khs (kartu hasil studi) semester genap yang baru saja berlalu, sudah tahun kedua dan ini pertama kalinya khs di printout sendiri oleh pihak dekanat dengan kebijakan baru oleh dekan baru. Tiba-tiba saja aliran semangat yang kurasakan disekujur tubuh perlahan menghilang, dengan gontai kuberjalan tak sadar bahwa gerakku sangat lamban kemudian aku mempercepat jalan dengan raut wajah yang tadinya cerah sekarang berubah menjadi datar.
Air bening yang berasal dari kelopak mataku mengalir perlahan, dalam hati beristighfar sebanyak-banyaknya. Teringat hasil yang kudapatkan di semester genap lalu, hasil yang benar-benar jauh dari harapan, hasil yang membuatku menjatuhkan air mata, hasil yang membuatku berpikir berulang kali dimana letak kesalahanku sehingga mendapatkan hasil yang tak sesuai dengan targetanku di awal semester lalu.
Dengan sesugukkan aku menangis sampai akhirnya sudah berada dijalan depan rusunawa, melihat sang mentari bersinar menampar wajahku yang sembab dan basah. Lalu seperti ada yang berbisik dan menghujam hatiku “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad:7). Aku mengangguk mengiyakan bisikkan itu. “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan : kami telah beriman, sedang mereka belum diuji?” (QS. Al-Ankabut :2-3). Aku tersenyum dan secepat kilat aku menghapus air mataku, rasa semangat itu mengalir lagi dalam aliran darahku. Layaknya seorang prajurit, dengan tegap kutata langkah kaki dengan agak berteriak “Aku pasti bisa melalui ini” dengan genggaman tangan yang kuat kuletakkan didadaku dan seperti berazzam aku berkata pada diriku sendiri “Aku diuji lagi, dan ini kesekian kalinya aku diuji dengan nilai, aku pasi bisa selagi Allah tujuanku, Allahu Akbar!!!”, sambil berjalan tak hentinya aku bertakbir untuk memperkuat keyakinanku melawan rasa futur.
Pintu gerbang asrama sudah terbuka lebar, seakan-akan menyambut kedatanganku. Terilhat masih sangat sepi sekali, tak ada aktivitas sedikitpun hanya tanaman-tanaman yang bergoyang diterpa angin seolah mereka bertasbih memujikan kebesaran Allah dengan irama yang teratur. Dengan mengucap hamdalah kulangkahkan kaki ini untuk masuk kedalam asrama yang dikenal dengan asrama muba. Dulu, waktu asrama ini dibangun pertama kali. Asrama ini milik daerah Muba yang sengaja dibuat untuk menampung mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari daerah Muba. Tapi, kemudian asrama ini dibeli oleh pihak Unsri sehingga akhirnya dijadikan asrama khusus untuk mahasiswa yang mendapatkan beasiswa bidik misi. Walau sudah berpindah kepemilikan, orang-orang masih menyebutnya dengan asrama muba, mungkin sudah familiar dengan nama itu.
Dengan sigap kubuka pintu kamar yang bewarna coklat ini, lalu bsssttt terasa sekali uap kamar yang pengap dan gelap, yang menandakan bahwa tak ada udara yang masuk. Cepat-cepat kubuka jendela kamar dan menyingkap tirainya, terasa udara pagi yang sejuk perlahan memasuki ruang kamar yang luasnya sekitar 2x3 meter ini. Kuambil sapu lalu kubersihkan lantai dan meja yang berdebu. Kemudian kurebahkan sebentar tubuh ini, untuk mengatur nafas yang terasa sesak akibat menangis ditambah udara pengap kamar. Setelah terasa agak mendingan, bersiap untuk sholat dhuha terlebih dahulu.
Keluar dari kamar untuk mengambil air wudhu, kamar mandi yang berada paling belakang tak menyurutkan niat ini untuk meluangkan waktu untuk sang Ilahi. Menyusuri koridor asrama, terlihat pintu-pintu kamar lainnya masih tergembok dan ada juga yang sudah ada penghuninya. Walau tahu ada teman yang sudah datang juga tapi sengaja tak kuhampiri karena pastinya Ia juga sedang sibuk membereskan kamar yang sudah lama tak dikunjungi.
Sampai di halaman belakang, ternyata sudah banyak hamparan jemuran yang bergelantungan di tali jemuran. Itu menandakan setidaknya sudah sedikit banyak mahasiswa yang sudah pulang ke asrama. Masuk ke dalam kamar mandi dan seperti biasa dengan melihat air didalam bak yang agak berminyak karena bak yang memang sudah karatan itu membuatku selalu untuk bersabar dan mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan meski seadanya setidaknya di asrama ini tak kekurangan air dimana ditempat lainnya terkadang sulit mendapat air karena kekeringan.
Setelah dhuha kusertakan doa yang kupanjatkan agar tekad bulat untuk memperbaiki niatku agar dapat se-optimal mungkin dalam proses perkuliahan dan menyerahkan hasilnya sepenuhnya pada sang menentukan, agar tidak kecewa karena Allah melihat proses bukan pada hasil. Kemudian menyiapkan dan merapikan buku-buku yang akan dibawa kekampus, meski tak ada kuliah memang belum ada jadwal kuliah yang fix di semester ganjil ini, tapi aku selalu menyiapkannya untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu keperluan yang mungkin mengharuskan untuk ditulis di buku. Kurapikan kembali setelan pakaianku, jilbabku dan berkaca sucukup mungkin agar dapat terlihat seperti mahasiswa lainnya.
Sedikit berlari-lari kecil, keluar dari asrama dengan berjalan kaki kembali. Sengaja ingin berjalan mengitari jalan yang dilalui dan memang angkutan yang biasa standby di rusunawa tidak ada. Didepanku ada mahasiswa-mahasiswa yang sepertinya mau ke fakultasnya masing-masing. Meski tak ada yang tahu tujuan dari setiap yang berjalan di jalan ini tapi ini sudah menjadi jalan yang biasa dilalui anak-anak asrama maupun rusunawa untuk pergi ke fakultasnya.
Di depan gedung dekanat Fisip, dari kejauhan terlihat teman-teman sedang bercengkrama satu sama lain. Semakin dekat dengan mereka, kusapa mereka secara keseluruhan. Kemudian beralih ke samping kanan gedung dekanat untuk mengurus administrasi perkuliahan agar bisa lanjut ke semester selanjutnya. Setelah selesai urusan administrasi dan sebagainya, kusempatkan untuk menengok mushola yang berada di samping kiri gedung dekanat. Sepi, tak ada satupun yang berada disana, kuurungkan niatku kesana, kembali kedepan gedung kulihat sosok yang sepertinya kukenal dan ternyata benar, Ia tersenyum lalu menyapaku. Sosok itu bernama Mala, kami berteman sejak semester pertama dan semakin erat persahabatan kami sejak semester genap kemarin.
“Hei Lyna, bagaimana apa kau sudah mengambil khs mu?”
“Iya baru saja, apa kabarmu Mala?”
“Baik, dan kamu?”
“Alhamdulilah masih dikaruniai nikmat kesehatan oleh yang maha kuasa”
Kemudian kami duduk di bangku panjang yang sudah tersedia didepan gedung itu. Sejurus kemudian Ia membuka obrolan.
“Bagaimana hasil semestermu Lyn, ?”
“Lumayan, walau tidak sesuai targetku”
Sebenarnya, aku malas jika sudah bertanya akan ini sehingga aku tak menanyakan kembali kepadanya, karena tak ingin mengungkit hal yang membuat sedih. Untuk mengalihkan pembicaraan, aku bertanya mata kuliah apa yang diambilnya di semester ini. Ada sedikit perdebatan, karena di semester ini ada mata kuliah pilihan konsentrasi. Ia memilih Advokasi Kebijakan sedangkan aku memilih Kebijakan Pariwisata, walau yang mengalah adalah aku sendiri, karena tak ada yang mengambil mata kuliah itu dan syarat bisa mengambil mata kuliah pilihan harus minimal 10 orang yang mengambilnya. “Mengapa advokasi sepertinya mata kuliah itu membosankan” gumamku dalam hati.
Akhirnya Advokasi menjadi pilihanku juga, karena terpaksa mengikuti teman-teman satu konsentrasi yang semuanya memilih mata kuliah itu. Sedikit kecewa tapi mencoba untuk menerimanya karena jika tidak akan menjadi beban saja dan itu akan menghambat usaha dan upaya yang dibangun selama ini. Disadari atau tidak terkadang jalan hidup ditentukan oleh berapa banyak orang-orang yang berada dikelompok yang sama dan mempunyai tujuan sehingga menjadi satu gerakkan massa. Itulah yang terjadi pada pengambilan mata kuliah ini, sebagian orang hanya mengikuti pilihan yang banyak di pilih orang tanpa berpikir apakah ini sesuai dengan kemampuan atau keinginan, seolah tak bisa menentukan pilihan jalan hidupnya sendiri. Tapi tak ada yang bisa menyalahkan tindakan beberapa orang, karena tindakan mengikuti pun sudah menjadi pilihan tersendiri.
Apapun yang dihadapi di semester ini, sesibuk apapun berorganisasi dan seberapa waktu yang banyak habis memikirkan umat tetap kuliah menjadi hal yang harus dipikirkan guna masa depan kelak dimana tidak hanya talenta atau pengalaman tapi akademis juga ikut dilirik untuk menentukan masa depan yang cerah. Sehingga tekad bulat untuk lebih baik di semester ini sudah membaja dan tekad untuk menjalankan amanah organisasi juga sudah kuat dengan tetap berpegangan dengan Allah semata.